Sebutir Pasir Lubai

.

Batang Hari Lubai...


Senin, 16 Desember 2013

Pola Persebaran Desa

Pola persebaran desa di Indonesia dibagi menjadi 3 yaitu:
  1. Pola Memanjang (linier). Pola yang mengikuti jalan. Pola desa yang terdapat di sebelah kiri dan kanan jalan raya atau jalan umum. Pola ini banyak terdapat di dataran rendah. Pola yang mengikuti sungai. Pola desa ini bentuknya memanjang mengikuti bentuk sungai, umumnya terdapat di daerah pedalaman. Pola yang mengikuti rel kereta api. Pola ini banyak terdapat di Pulau Jawa dan Sumatera karena penduduknya mendekati fasilitas transportasi. Pola yang mengikuti pantai. Pada umumnya, pola desa seperti ini merupakan desa nelayan yang terletak di kawasan pantai yang landai. Maksud dari pola memanjang atau linier adalah untuk mendekati prasarana transportasi seperti jalan dan sungai sehingga memudahkan untuk bepergian ke tempat lain jika ada keperluan. Di samping itu, untuk memudahkan penyerahan barang dan jasa.
  2. Pola Desa Menyebar. Pola desa ini umumnya terdapat di daerah pegunungan atau dataran tinggi yang berelief kasar. Pemukiman penduduk membentuk kelompok unit-unit yang kecil dan menyebar.
  3. Pola Desa Tersebar. Pola desa ini merupakan pola yang tidak teratur karena kesuburan tanah tidak merata. Pola desa seperti ini terdapat di daerah karst atau daerah berkapur. Keadaan topografinya sangat buruk.

Fungsi Desa

Fungsi desa adalah sebagai berikut:
  1. Desa sebagai hinterland (pemasok kebutuhan bagi kota)
  2. Desa merupakan sumber tenaga kerja kasar bagi perkotaan
  3. Desa merupakan mitra bagi pembangunan kota
  4. Desa sebagai bentuk pemerintahan terkecil di wilayah Kesatuan Negara Republik Indonesia
Ciri-ciri Masyarakat Desa 

Kehidupan keagamaan di kota berkurang dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa. Orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang lain. Yang penting disini adalah manusia perorangan atau individu. Pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas yang nyata. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga kota dari pada warga desa. Interaksi yang lebih banyak terjadi berdasarkan pada faktor kepentingan daripada faktor pribadi. Pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan individu. Perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota biasanya terbuka dalam menerima pengaruh.

Pengertian Desa


Desa, atau udik, menurut definisi "universal", adalah sebuah aglomerasi permukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesia, istilah desa adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, yang dipimpin oleh Kepala Desa. Sebuah desa merupakan kumpulan dari beberapa unit pemukiman kecil yang disebut kampung (Banten, Jawa Barat) atau dusun (Yogyakarta) atau banjar (Bali) atau jorong (Sumatera Barat). Kepala Desa dapat disebut dengan nama lain misalnya Kepala Kampung atau Petinggi di Kalimantan Timur, Klèbun di Madura, Pambakal di Kalimantan Selatan, Hukum Tua di Sulawesi Utara.

Sejak diberlakukannya otonomi daerah Istilah desa dapat disebut dengan nama lain, misalnya di Sumatera Barat disebut dengan istilah nagari, di Aceh dengan istilah gampong, di Papua dan Kutai Barat, Kalimantan Timur disebut dengan istilah kampung. Begitu pula segala istilah dan institusi di desa dapat disebut dengan nama lain sesuai dengan karakteristik adat istiadat desa tersebut. Hal ini merupakan salah satu pengakuan dan penghormatan Pemerintah terhadap asal usul dan adat istiadat setempat.


Desa menurut aktivitasnya
  1. Desa agraris, adalah desa yang mata pencaharian utama penduduknya adalah di bidang pertanian dan perkebunanan.
  2. Desa industri, adalah desa yang mata pencaharian utama penduduknya adalah di bidang industri kecil rumah tangga.
  3. Desa nelayan, adalah desa yang mata pencaharian utama penduduknya adalah di bidang perikanan dan pertambakan.
Desa menurut perkembangannya
  1. Desa Swadaya, adalah desa yang memiliki potensi tertentu tetapi dikelola dengan sebaik-baiknya, dengan ciri: Daerahnya terisolir dengan daerah lainnya. Penduduknya jarang. Mata pencaharian homogen yang bersifat agraris. Bersifat tertutup. Masyarakat memegang teguh adat. Teknologi masih rendah. Sarana dan prasarana sangat kurang. Hubungan antarmanusia sangat erat. Pengawasan sosial dilakukan oleh keluarga.
  2. Desa Swakarya, adalah peralihan atau transisi dari desa swadaya menuju desa swasembada. Ciri-ciri desa swakarya adalah: Kebiasaan atau adat istiadat sudah tidak mengikat penuh. Sudah mulai menpergunakan alat-alat dan teknologi. Desa swakarya sudah tidak terisolasi lagi walau letaknya jauh dari pusat perekonomian. Telah memiliki tingkat perekonomian, pendidikan, jalur lalu lintas dan prasarana lain. Jalur lalu lintas antara desa dan kota sudah agak lancar.
  3. Desa Swasembada, adalah desa yang masyarakatnya telah mampu memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam dan potensinya sesuai dengan kegiatan pembangunan regional. Ciri-ciri desa swasembada: Kebanyakan berlokasi di ibukota kecamatan. Penduduknya padat-padat. Tidak terikat dengan adat istiadat. Telah memiliki fasilitas-fasilitas yang memadai dan labih maju dari desa lain. Partisipasi masyarakatnya sudah lebih efektif.

Senin, 09 Desember 2013

Jelutung Rawa

Di Indonesia terdapat dua jenis jelutung, yaitu: Dyera costulata Hook. F. dan Dyera lowii Hook. F. Kedua jenis ini termasuk famili Apocynaceae. Jelutung, di Kalimantan disebut pantung, di Sumatera disebut labuai, di Semenanjung Melayu disebut ye-luu-tong, dan di Thailand disebut teen-peet-daeng.

Pohon jelutung berbentuk silindris, tingginya bias mencapai 25-45 m, dan diameternya bisa mencapai 100 cm. Kulitnya rata, berwarna abu-abu kehitam-hitaman, dan bertekstur kasar. Cabangnya tumbuh pada batang pohon setiap 3-15 m. Bentuk daunnya memanjang, pada bagian ujungnya melebar dan membentuk rokset. Sebanyak 4-8 helai daun tunggal itu duduk melingkar pada ranting. Jelutung berbunga dua kali setahun. Bunga malainya berwarna putih, dan buahnya berbentuk polong. Apabila sudah matang, buahnya pecah untuk menyebarkan biji-bijinya yang berukuran kecil dan bersayap ke tempat di sekitarnya.

Jelutung tumbuh baik di daerah hutan hujan tropis yang beriklim tipe A dan tipe B menurut Schmidt & Ferguson; tanah berpasir, tanah liat, dan tanah rawa; dengan ketinggian tempat tumbuhnya 20-80 m dari permukaan laut.


Jelutung rawa (Dyera pollyphylla Miq. Steenis atau sinonim dengan D. lowii Hook F) merupakan jenis pohon lokal (indigenous tree species) hutan rawa yang prospektif untuk dikembangkan pada hutan rakyat di lahan rawa karena keunggulan ekologi dan ekonomi yang dimilikinya. Jelutung rawa mempunyai daya adaptasi yang baik dan teruji pada lahan rawa, pertumbuhannya relatif cepat dan dapat dibudidayakan dengan manipulasi lahan yang minimal, mempunyai daya adaptasi yang baik dan telah teruji pada lahan rawa mempunyai pertumbuhan yang cepat (riap diameter 2,0 – 2,5 cm/tahun, riap tinggi 1,6 – 1,8 m/tahun) dapat dibudidayakan dengan manipulasi lahan minimal mempunyai hasil ganda, getah (untuk permen karet, kosmetik, isolator) dan kayu (untuk pencil slate, vinir, moulding) sudah dikenal dan dimanfaatkan lama oleh masyarakat dapat dibudidayakan seperti tanaman karet, pada masa produktif disadap getahnya, pada akhir daur dimanfaatkan kayunya.



Pemilihan jelutung di lahan rawa didasari beberapa alasan sebagai berikut.


  1. Kemampuan beradaptasi pada lahan rawa telah teruji. Daya adaptasi yang baik pada lahan rawa merupakan syarat mutlak bagi suatu jenis pohon yang akan digunakan untuk merehabilitasi lahan rawa terdegradasi. Jelutung mempunyai daya adaptasi yang baik pada lahan rawa yang selalu tergenang atau tergenang berkala.
  2. Pertumbuhan yang relatif cepat. Jelutung mempunyai pertumbuhan yang relatif cepat, pada kondisi alami riap diameter pohon berkisar antara 1,5 – 2,0 cm per tahun (Bastoni dan Riyanto, 1999). Pohon jelutung yang dibudidayakan dengan pemeliharaan semi insentif riap diameternya dapat mencapai 2,0 – 2,5 cm per tahun (Bastoni, 2001).
  3. Dapat dibudidayakan dengan manipulasi lahan yang minimal. Jelutung dapat dikembangkan untuk hutan rakyat di lahan rawa dengan gangguan terhadap lahan yang sangat minimal. Hal ini dimungkinkan sebab penanaman jelutung di lahan rawa dapat dilakukan tanpa pembuatan kanal untuk sistem drainase. Pembuatan kanal merupakan bentuk gangguan berat pada lahan yang berdampak negatif, seperti: terjadinya perubahan status hidrologi dari kondisi tergenang menjadi tidak tergenang, terjadinya penurunan tebal lapisan (subsidence) dan menyebabkan sifat kering tak balik. Kondisi tersebut menyebabkan lahan rawa menjadi sangat rawankebakaran pada musim kemarau.
  4. Hasil ganda (getah dan kayu). Pengembangan jelutung mempunyai prospek yang baik karena kedua jenis produk pohon jelutung (getah dan kayu) memiliki banyak manfaat. Kayu jelutung berwarna putih kekuningan, bertekstur halus, arah serat lurus dengan permukaan kayu yang licin mengkilap. Sifat kayu jelutung tersebut sangat baik digunakan sebagai bahan baku industri mebel, plywood, moulding, pulp, patung dan pencil slate. Getah jelutung dapat digunakan sebagai bahan baku permen karet, isolator dan soft compound ban. Pasar kayu jelutung di dalam negeri relatif baik, hal ini disebabkan oleh kebutuhan bahan baku industry pencil slate yang mencapai 180.670 m3 per tahun (Bastoni dan Lukman, 2004).
  5. Masukan (input) biaya budidaya relatif rendah. Bastoni dan Karyaatmadja (2003) menyatakan bahwa dalam jangka waktu tiga tahun biaya yang dikeluarkan pada pembangunan hutan tanaman jenis jelutung untuk bibit, penyiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan sekitar Rp2,88 juta per ha lahan. 
  6. Masyarakat telah mengenal jelutung. Jelutung dapat dibudidayakan seperti tanaman karet, yaitu pada masa produktif disadap getahnya dan ada saat produktivitas getahnya menurun dapat dimanfaatkan kayunya. Pola budidaya jelutung mirip dengan karet, yaitu hasil getah mulai umur 8-10 tahun sampai sepanjang daur dan hasil kayu pada akhir daur. Kemiripan budidaya jelutung dengan karet menjadikan masyarakat tidak mengalami kesulitan untuk membudidayakannya. 
Perkecambahan

Jelutung rawa berbuah setiap tahun dengan musim raya setiap 2 tahun. Pohon berbunga pada bulan Nopember. Buah telah matang dan dapat dipanen pada bulan April – Mei.Buah jelutung rawa berbentuk polong berjumlah 2 buah pada setiap tangkainya. Panjang polong 12 – 26 cm (rata-rata 23 cm), berat kering polong 20,2 – 31,9 gram (rata-rata 28,02 gram), jumlah biji per polong 12 – 26 biji (rata-rata 18 biji). Buah yang telah masak fisiologis pecah setelah dijemur 1 – 3 hari,kemu- dian biji diambil dari polongnya Masa simpan benih pendek (1 – 3 bulan), yang terbaik benih langsung dikecambahkan setelah direndam selama 2 jam, ditiriskan kemudian ditabur pada media pasir yang telah dibasahi & disemprot dengan fungisida. Benih yang telah ditabur pada media pasir dijaga kelembabannya dengan cara disiram setiap hari. Benih mulai berkecambah 1 minggu setelah penaburan yang ditandai oleh keluar- nya akar, setelah 1 bulan kotiledon mekar sempurna kemudian akan tumbuh sepasang daun pertama yang menandakan kecambah siap disapih. 

Pembibitan

Pembibitan dilakukan secara generatif menggunakan benih. Pembibitan menggunakan metode vegetatif makro (stek) dan mikro (kultur jaringan ) belum dikuasai. Penyapihan bibit sudah dapat dilakukan setelah kotiledon berkembang penuh atau setelah keluar sepasang daun sekitar 50 – 60 hari (2 bulan) setelah penaburan benih. Media sapih bibit yang digunakan sebaiknya banyak mengandung bahan organik, atau campuran tanah mine- ral dan bahan orga- nik. Pertumbuhan bibit terbaik dicapai pada perlakuan komposisi media sapih 60% gambut dan 40% tanah mineral (top soil) serta dosis pupuk NPK sebesar 0,5 – 1,0 gram/bibit. Penyapihan bibit dilakukan pada persemaian permanen atau semi permanen yang dinaungi sarlonet dengan intensitas naungan 50 – 75 persen. Polibag yang dapat digunakan untuk pe-nyapihan bibit berukuran 15 x 12 cm atau lebih besar tergantung lama waktu penanaman. Kriteria bibit siap tanam: tinggi 25 – 40 cm, diameter 0,5 cm, jumlah daun 8 – 12 helai, batang lurus, perakaran sudah me-nyatu dengan media. Umur bibit siap tanam tergantung dari cara pembibitannya. Pada pembibitan manual (tanpa genangan) bibit siap tanam 8 – 10 bulan setelah sapih. Pembibitan sistem genangan buatan setinggi 30% dari tinggi polibag, bibit siap tanam 4 – 6 bulan setelah sapih dan konsumsi air 28 kali lebih hemat daripada pembibitan manual.

Persiapan Lahan

Jelutung rawa termasuk jenis pohon yang membutuhkan cahaya penuh untuk pertumbuhannya. Jenis ini cocok ditanam pada hutan rawa gambut yang terbuka, seperti areal bekas tebangan dan kebakaran. Pada areal terbuka bekas kebakaran, penyiapan lahan dilakukan dengan sistem jalur, lebar jalur 1,5 – 2,0 m dan jarak antar jalur 5 m, jarak tanam 5 x 5 m. Setelah pembuatan jalur dilakukan pemasangan ajir dan pembuatan gundukan gambut. Tujuannya untuk mengumpulkan massa tanah untuk tempat berjangkarnya perakaran tanaman dan meninggikan bagian tanah agar bibit tidak terendam air. Tinggi gundukan minimal 50% dari tinggi genangan air pada puncak musim hujan. Pada areal terbuka bekas tebangan, untuk tanaman pengayaan, penyiapan lahan dilakukan dengan sistem jalur, lebar jalur 2 – 3 m dan jarak antar jalur 10 m, jarak tanam 5 x 10 m.

Penanaman dan Pemeliharaan

Sebelum penanaman, bibit diadaptasikan di tempat terbuka selama 1 bulan dengan cara pembukaan sarlonet di persemaian. Penanaman dilakukan pada awal musim hujan (Oktober) sebelum genangan air rawa tinggi, dan tinggi bibit perlu disesuaikan dengan tinggi genangan air. Tinggi bibit minimal sepertiga lebih tinggi dari genangan air pada puncak musim hujan. Pemeliharaan tanaman dilakukan minimal sampai umur 3 tahun, berupa pembebasan tumbuhan bawah dan pemupukan. Pada tahun pertama pembebasan tumbuhan bawah dilakukan minimal 3 kali. Pada tahun kedua dan ketiga pembebasan tumbuhan bawah dilakukan masing-masing 2 kali. Pemupukan dilakukan sebanyak 2 kali pada awal dan akhir musim hujan sampai tanaman berumur 3 tahun. Pupuk yang digunakan NPK tablet dengan dosis 20 – 30 gram (2 – 3 tablet) per tanaman setiap periode pemupukan.

Penyadapan Getah Jelutung

Daun jelutung mirip sekali dengan daun pulai. Bijinya berada dalam polong lonjong berwarna coklat.
Tanah Rawah dan Tanaman kayu Jelutung

Persemaian
Pembibitan
Nah daripada rawa terbuka tak memberi manfaat, mari kita tanami dengan tanaman permen karet. Selain memberi hasil, penutupan lahan rawa juga bisa menyumbang penyerapan karbon. Artinya, sambil mengurangi pemanasan global, kita dapat hasil.
Sumber info : http://baltyra.com

Rabu, 04 Desember 2013

Solusi Pemekaran

Beberapa Solusi Pemekaran Suatu Daerah yaitu :
  1. Penyelarasan Antara Syarat dan Administrative Dengan Aspirasi
  2. Penguatan Aspirasi Pemekaran Dan Komunikasi Antara DPRD - Pemerintahan
  3. Ketersediaan Data Dan Fakta Lapangan
  4. Ketersediaan Tenaga Ahli Dan Team

Alasan Pemekaran

Beberapa alasan untuk memekaran suatu Daerah yaitu :

  1. Pelayanan, lebih baik, lebih cepat, lebih murah
  2. Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat
  3. Untuk Pemerataan Pembangunan
  4. Adanya Aspirasi masyarakat

Prospek Pemekaran

Beberapa tinjauan Prospek Pemekaran suatu Daerah yaitu :

  1. Jumlah Penduduk, cukup/tidak cukup
  2. Persyaratan Administatif, lengkap/tidak lengkap
  3. Kemampunan Daerah, Keuangan dan Sumber Daya Alam
  4. Rekomendasi Daerah Induk/Atasan, sudah/belum jelas